Just the ideas and opinion about Social, Economy, and Politic

MENGENAL KOREA LEWAT LUKISAN SASTRA*

oleh Maisya Farhati

 

Korea: Sebuah Ulasan Singkat dan Kilas Balik

 

Berbicara mengenai Korea (Selatan) saat ini tentu saja berbeda dengan Korea masa lalu. Tak usah jauh-jauh, sepuluh tahun lalu saja misalnya, Korea belum terlalu populer baik dalam budaya pop (pop culture) maupun perkembangan ekonomi dan teknologinya. Adalah sebuah keniscayaan apabila sebuah bangsa, termasuk Korea, mengalami metamorfosis dalam perjalanan hidupnya. Transisi budaya kemudian terjadi seiring perkembangan ekonomi, politik, dan sosial yang ada.

Saya pribadi mengenal Korea sebagai sebuah bangsa yang besar. Teringat sebuah pepatah bahwa “bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai sejarahnya”, begitulah Korea di mata saya. Setahun pengalaman saya tinggal di Negeri Ginseng dalam sebuah program pertukaran pelajar (2007) telah cukup menunjukkan bagaimana masyarakat Korea begitu menghargai para leluhurnya yang telah mewariskan kebesaran peradaban serta para pahlawan yang telah berjuang mempertahankan kehormatan bangsa, termasuk saat perang melawan penjajah (Jepang). Adapun Perang Korea (1950-1953), dapat dikatakan perang yang begitu dilematis karena melawan saudara sendiri – Korea Utara.

Kejadian demi kejadian sepanjang sejarah Korea telah membentuk Korea seperti wujudnya yang sekarang. Di banyak tempat, karya sastra tak urung menjadi saksi perubahan gejala sosial di masyarakat. Dalam kumpulan cerpen Korea  bertajuk “Laut dan Kupu-Kupu” terbitan Gamedia ini, pembaca dapat sedikit demi sedikit mengenal budaya Korea melalui sikap dan konflik para tokohnya, kebiasaan-kebiasaan masyarakatnya, serta kondisi ekonomi, sosial, dan politik yang sedikit banyak berpengaruh dalam pembentukan budaya tersebut.

Karya sastra adalah sebuah kekayaan tersendiri yang mengabadikan momen penting maupun kejadian sederhana dalam kehidupan sehari-hari. Memang tak mudah untuk membagi kekayaan tersebut kepada bangsa lain, karena setiap bahasa memiliki sifat khasnya sendiri-sendiri yang tak mudah pula diubah wujudnya menjadi bahasa lain dengan tetap mempertahankan keakuratan makna dan keindahan bahasa. Dengan segala keterbatasan, bagaimanapun penerjemahan ke-12 cerpen ini perlu mendapat apresiasi sebagai usaha untuk memperluas wawasan budaya suatu bangsa.

 

Pasca Perang Korea

Perang memang selalu menyisakan kepedihan, tak peduli menang atau kalah. Kemenangan sekalipun selalu menyisakan kehilangan, terlebih perang saudara di Korea pada 1950-1953. Perbedaan ideologi yang mungkin sebenarnya hanya dipahami oleh sebagian orang saja, telah membawa begitu banyak korban. Seperti yang diceritakan pada cerpen pertama bertajuk “Dua Generasi Teraniaya” karya Ha Geun-chan. Dua generasi yang diwakili oleh ayah dan anak ini merupakan representasi kondisi pasca perang, dimana Mando, sang ayah, mengalami perang melawan penjajah (Jepang) sedangkan Jinsu, sang anak, mengalami perang Korea.

Dalam cerpen tersebut, memang tidak terlalu dihadirkan bagaimana sikap dari masyarakat Korea secara umum terhadap penjajahan Jepang maupun perbedaan ideologi dengan Korea Utara. Cerita lebih menitikberatkan kepada kondisi pribadi kedua tokohnya. Sudah sewajarnya sang ayah berharap anaknya pulang dari perang dengan selamat dan dengan kondisi yang sempurna meskipun ternyata kenyataan tak sesuai harapannya. Mando yang telah mengalami cacat tangan karena menjadi korban perang ternyata harus memiliki anak yang sebelah kakinya diamputasi, juga karena perang.

Kondisi pasca Perang Korea tentu saja jangan dibandingkan dengan gemerlapnya pembangunan Korea masa kini. Kondisi saat itu digambarkan masih serba terbatas, kota-kota besar belum bangkit, yang ada kebanyakan adalah desa-desa kecil dengan jalan penghubung atau infrastruktur yang masih tradisional dan seadanya. Namun keterbatasan lingkungan dan keterbatasan diri tak meluluhkan semangat dan optimisme. Hal tersebut seperti tersurat pada dialog di halaman 14:

“Bapak.”

“Kenapa?”

“Saya ragu bisa hidup dengan keadaan seperti ini.”

Enggak usah ragu. Kalau masih bisa bernafas semua bisa hidup. Jangan bicara seperti itu.”

Jinsu yang lebih muda digambarkan agak ragu menghadapi kehidupan pasca perang dengan kaki yang tak sempurna. Sedangkan, Mando yang bisa dibilang telah lebih banyak makan garam, merasa lebih siap menghadapi semua kenyataan hidup, baik manis atau pahit. Dengan keterbatasan fisik, ayah dan anak itu justru saling melengkapi. Bahkan Mando berinisiatif membagi tugas sehari-hari. Mando yang lebih mudah bergerak dengan kedua kakinya mendapat bagian kerja di luar rumah, sedangkan Jinsu melakukan pekerjaan di dalam rumah.

Rasa syukur dan optimis bagaimanapun dapat menjadi penawar dalam setiap kesulitan yang dihadapi setiap insan. Dan masyarakat Korea telah membuktikan kebesaran optimisme tersebut dengan pencapaian-pencapaian yang kini dapat kita lihat sendiri – dari hancur lebur pasca perang sampai dengan tegak berdiri di masa kini.

 

Korea dan Industrialisasi

            Layaknya negara-negara berkembang lain, Korea pun mengalami fase yang disebut industrialisasi. Tahun 1970-an menjadi saksi perubahan struktural dari Korea yang awalnya berbasis pertanian menjadi negara industri. Meskipun tentunya perubahan itu ditujukan untuk kemajuan negara termasuk masyarakatnya, namun konflik yang muncul dalam setiap perubahan nampaknya adalah sebuah keniscayaan.

Korea dikenal dengan budaya kekeluargaannya (kinship). Dalam masyarakat yang bercorak pertanian, dikenal saling menolong semata-mata atas dasar kekeluargaan saja tanpa terlalu memikirkan materi. Menuju era industri, perlahan tata kehidupan dalam masyarakat berubah. Aturan-aturan yang bersifat teknis mulai berlaku. Banyak orang yang tak paham, juga tak siap.

            Cerpen “Jalan ke Sampho” dan “Bung Kim di Kampung Kami” menjadi potret Korea dalam masa transisi ini. Young Dal dalam “Jalan ke Sampho” bermaksud hendak pulang ke kampung halamannya. Cerita dalam cerpen ini sebagian besar berkaitan dengan persoalan kerja dan mata pencaharian.

            “Karena kami punya keterampilan, tidak ada masalah dengan kerjaan.”

            “Saya tahu. Anda dulu bekerja sebagai pengebor batu, kan? Kalau kami bisa bekerja menjadi tukang kayu, las, dan memperbaiki sepatu.”

            “Wah, banyak banget. Situ bakal aman.”

            (kutipan dari halaman 49)

            Dalam masa transisi, orang tak lagi dapat menyandarkan diri pada mata pencaharian di bidang pertanian. Namun tak mudah pula mencari pekerjaan di sektor formal seperti bekerja di kantoran, pabrik, dan lain-lain. Hal itu menyebabkan semakin banyak keahlian, maka peluang untuk bertahan semakin besar.

            Perjalanan Young Dal pulang ke kampung halaman telah mempertemukannya dengan Chung dan Baek Hwa. Mereka saling bercerita mengenai kehidupan pribadi maupun pekerjaan yang mereka jalani. Baek Hwa, dalam keadaan ekonomi yang sulit, bekerja di berbagai tempat sebagai wanita bayaran. Ia melakukannya demi memenuhi kebutuhan hidup, apalagi dalam keluarganya ia memiliki banyak adik. Ketika ia memutuskan pulang ke kampung halaman pun, ia tak urung berniat untuk tetap bekerja seperti tersurat dalam halaman 67.

            Nah, sekarang rencananya apa kalau pulang ke rumah…?”

            Baek Hwa tidak menjawab dan hanya tersenyum. Chung berkata, “Kawin saja ya.”

            “Ogah kawin. Untuk apa menikah sekarang. Aku mau membantu ayah bertani di kampung. Aku punya banyak adik.”

            Begitulah cerita singkat selama perjalanan. Namun poin penting lainnya yang justru muncul di akhir cerita adalah kenyataan yang ada di hadapan ketiga orang itu ketika kembali ke kampung halaman masing-masing. Waktu bertahun-tahun yang mereka habiskan di perantauan ternyata berjalan seiring perubahan di desa mereka. Young Dal yang hendak kembali ke desanya harus siap berhadapan dengan kondisi desa yang telah berubah seiring arus industri yang ada. Sampho yang dulu wilayah perairan kini telah menyatu dengan daratan. Desa-desa sudah tergusur oleh proyek pariwisata, pembangunan pasar, dan lainnya.

 

            Lain lagi kisah dalam “Bung Kim di Kampung Kami”. Perubahan adat dan tata kehidupan di masyarakat menjadi fokus utama dalam penceritaan. Bagi masyarakat Korea yang kental dengan budaya dan mata pencaharian di bidang pertanian, lahan pertanian adalah hidup mereka, yang selalu mereka urus sebaik mungkin dan tak akan pernah ditelantarkan. Dan masyarakat agraris yang identik dengan semangat kebersamaan, terpaksa diluruhkan oleh industrialisasi. Masalah pengairan yang dulu terasa sederhana kini menjadi rumit dan tak bisa terlepas dari persoalan materi. Masalah hak milik yang dulunya tidak terlalu dipermasalahkan, kini menjadi persoalan besar.

 

Sikap Kritis Masyarakat Korea

 

            Judul di atas setidaknya cukup menggambarkan apa yang akan dipaparkan selanjutnya. Dalam setiap rezim pemerintahan, dengan kondisi sosial ekonominya, ada saja terdapat hal-hal yang terasa mengekang atau tak merasa cukup puas. Dengan persoalannya masing-masing, kondisi ini diwakili oleh cerpen “Dini Hari ke Garis Depan”, “Sungai Dalam Mengalir Jauh”, dan “Kerja, Nasi, Kebebasan”.

            Setelah melewati masa transisi dari pertanian ke industri, ternyata masalah tidak usai begitu saja. Kini masalah muncul dalam kaitannya hubungan pengusaha dengan buruh, seperti pemutusan hubungan kerja (PHK), kesejahteraan, dan keadilan. Dalam “Dini Hari ke Garis Depan”, dikisahkan bagaimana sekelompok buruh membuat suatu gerakan untuk memperjuangkan nasib mereka. Konflik kepentingan memang biasa mewarnai hubungan kerja.

Pada perkembangannya, konflik tak hanya mengenai hubungan pekerja dengan pengusaha, namun turut juga melibatkan keluarga. Seperti Yoon Hee dan Soon Ok yang dikisahkan terpaksa lepas dari serikat buruh karena tidak ingin melibatkan dan merepotkan keluarga lebih jauh disebabkan kegiatan mereka dalam serikat buruh. Di sisi lain, beberapa orang di serikat buruh masih berjuang memperoleh keadilan dan mempertahankan harga diri mereka, karena harga diri tak dapat dibeli dengan apapun, termasuk uang.

Dalam dua cerpen lainnya yaitu “Sungai Dalam Mengalir Jauh” dan “Kerja, Nasi, Kebebasan”, cerita masih seputar konflik di dunia kerja. Satu kekhasan yang tak hilang, dalam konflik kerja, kaitan batin sang tokoh dalam cerpen dengan keluarganya selalu terasa.

 

Masyarakat Korea dan Kebebasan

            Tema pada cerpen-cerpen setelah tahun 1990 bisa merefleksikan diversitas ide dalam setiap cerita yang ada. Meskipun tetap terdapat deskripsi mengenai kondisi sosial di sekitarnya, namun kebanyakan cerita fokus pada masalah yang bersifat pribadi : rumit dan abstrak. Masyarakat Korea dalam berbagai kemajuan dan perubahan sosial ekonominya bisa jadi lebih bersifat individualis daripada sebelumnya.

            “Kisah Singkat di Pekarangan” misalnya, merupakan perpaduan konflik psikologis seorang kakak yang ditinggal adiknya, masalah keluarga, serta halusinasi yang hadir dalam kehidupannya. Kisah ini bisa dibilang tak menyentuh isu sosial yang ada di sekitarnya.

            Cerpen “Laut dan Kupu-Kupu” yang judulnya diambil untuk keseluruhan kumpulan cerpen ini juga memiliki cerita yang bersifat pribadi. Kerinduan seorang istri akan suaminya yang telah lama berubah dan tak sehangat dulu. Namun, dalam cerpen ini selain masalah pribadi juga disinggung kondisi sosial ekonomi Korea dan hubungannya dengan China. Korea yang semakin lama semakin maju nampaknya memberikan kehidupan ekonomi yang cukup menjanjikan sehingga orang-orang keturunan Korea yang tinggal di China begitu ingin hijrah dan mencari peruntungan di Korea.

            Begitulah Korea dan wajah masyarakatnya dari masa ke masa. Dua cerpen terakhir yaitu “Betulkah? Saya Jerapah” dan “Menyeberangi Perbatasan” juga menunjukkan kepribadian dan cara mengekspresikan perasaan dengan semakin bebas. Tulisan dan isi cerita memang berubah seiring perkembangan zaman. Meskipun kita tak cukup mengenal keseluruhan budaya Korea melalui beberapa cerpen saja, namun setidaknya antologi cerpen ini telah membuka jendela sehingga kita dapat memandang pemandangan budaya Korea di luar rumah kehidupan kita.

 

*ulasan dan komentar untuk buku kumpulan Cerpen Korea “Laut dan Kupu-kupu”

Yogyakarta, 2008

 

Februari 22, 2009 - Posted by | Uncategorized

6 Komentar »

  1. Menurut pengamatan anda langsung yang sudah pernah ke korea bahwa di tengah modernisasi yang berkembang pesat di korea dan di seluruh dunia, apakah masyarakat korea masih mempertahankan tradisi dan kebudayaan mereka,misalnya lewat perayaan kembang api dengan tarian tradisional pada akhir pekan atau pada hari-hari besar mereka seperti di Jepang?Tolong dijawab ya,trims!
    Wassalamu’alaikum wr wb

    Komentar oleh Yoga Hariawan | Maret 2, 2009 | Balas

  2. Assalamua’alaikum
    Menurut pengamatan anda langsung yang sudah pernah ke korea bahwa di tengah modernisasi yang berkembang pesat di korea dan di seluruh dunia, apakah masyarakat korea masih mempertahankan tradisi dan kebudayaan mereka,misalnya lewat perayaan kembang api dengan tradisional atau pada hari-hari besar mereka seperti di Jepang?Tolong dijawab ya,trims!
    Wassalamu’alaikum wr wb

    Komentar oleh Yoga Hariawan | Maret 2, 2009 | Balas

  3. wa’alaikumsalam wr.wb.
    sejauh yg saya amati, di tengah modernaisasi yg terus berlangsung, masyarakat Korea masih mempertahankan berbagai tradisi, baik itu dalam bentuk ritual upacara maupun perilaku dan tata kehidupan sehari-hari. Dalam perayaan Chuseok (nanti saya beri link ke blog saya yg lainnya mengenai Chuseok) misalnya, orang Korea masih sibuk merayakan dengan sembahyang, sesajen untuk nenek moyang, maupun ziarah ke makam keluarga.

    Di kehidupan sehari-hari, banyak kebiasaan yang khas dari Korea. Mereka sangat menghargai perbedaan usia sehingga ada tata cara tertentu seperti saat makan dan minum apabila kita melakukannya dengan orang yg lebih tua atau lebih tinggi kedudukannya.

    Komentar oleh Maisya Farhati | Maret 3, 2009 | Balas

  4. waaa ica ikutan lomba esai ini juga toh?? hehe

    Komentar oleh dindunz | Juli 11, 2009 | Balas

  5. assalamu’alaikum.wr.wb
    mbak,
    aku baru lulus sma.
    aku sangat tertarik dengan budaya tradisional hingga dunia fashion korea so kepengen banget ke korea (setelah hobi nonton film2 drama korea.hehe),
    jujur saja aku bukan tergolong dari keluarga yang kaya.
    tapi aku punya motivasi tinggi dalam belajar (biar bisa jadi orang kaya dan keliling dunia),
    oleh karena itu mohon beritahu aku mbak bagaimana caranya biar bisa dapat kesempatan pertukaran pelajar ke KOREA seperti mbak?
    kalau tidak keberatan,
    silahkan kirim email atau via fb ke aku:
    fatindinniinayah@gmail.com

    Komentar oleh fatin dinni inayah | Mei 25, 2010 | Balas

  6. assalamualaikum.
    annyong hasimnika !

    wah, begitu ya. sebagai bangsa yang disiplin dan berkemauan keras saya cukup kagum dengan proses pembangunan di negara korea (selatan). kapan ya indonsia bisa maju seperti bangsa korea?

    disamping itu saya mau tanya nih, kan mbak maisya telah menciccccipi suasana belajar di negeri ginseng ya. bagaiman kesan kesan mbak setelah satu tahun lamanya dapat menimba ilmu di Daejeon university?
    mbak mau tanya juga, universitas terbaik di korsel untuk jurusan akuntansi itu di universitas mana ya?
    meski pun masi ambil d3. tapi saya berencana untuk melenjutkan studi s1 atau s2 di korea.
    mohon balasannya.
    gomawo ne.

    Komentar oleh hafiz | Agustus 29, 2010 | Balas


Tinggalkan komentar